Halo teman-teman,
Lama ngga cerita-cerita di sini nih. Apa kabar?
Aku kali ini mau cerita tentang aktivitias ku bersama teman-teman FINBARGO, anggota dari BEKAL Pemimpin 3.0. Jadi gini ceritanya, aku tahun lalu daftar pelatihan kepemimpinan yang namanya BEKAL Pemimpin. Aku terpilih sebagai salah satu dari 60 orang peserta dari sekitar 600 pendaftar. Pelatihan kepemimpinan ini sebenarnya lebih fokus pada pengenalan diri sendiri sebagai pemimpin yang berkesadaran.
Pelatihan dari BEKAL Pemimpin cukup panjang, sekitar 6 bulan. Sewaktu pelatihan di Bali, kami diajak untuk membentuk kelompok untuk mengimplementasikan pelajaran-pelajaran dari BEKAL. Di sini lah, aku memilih masuk ke dalam kelompok yang membahas tentang pangan lokal. Aku pilih ini karena ingin belajar selain yang aku pelajari di kantor, ingin sesuatu hal yang baru.
Nah, kelompok prototype aku fokus pada kegiatan tentang pangan lokal. Nama kelompoknya adalah FINBARGO yang merupakan singkatan nama-nama para anggota kelompok. Bersama FINBARGO, aku dan teman-teman mulai banyak belajar tentang pangan lokal. BEKAL juga kasih kami kesempatan untuk bisa belajar langsung dari lapangan. Kami mulai dari belajar pengelolaan pangan di Desa Boti, Nusa Tenggara Timur, hingga implementasi kegiatan uji coba bahan ajar tentang pangan yang kami laksanakan di Larantuka, Nusa Tenggara Timur.
Perjalanan pertama kali sebagai kelompok FINBARGO adalah ke Desa Boti, Nusa Tenggara Timur. Dalam perjalanan ini, kami mempelajari tentang komunitas Desa Boti yang telah berhasil mengelola lahan untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka memiliki konsep, makan yang ditanam, tanam yang dimakan. Artinya, segala apapun yang kita butuhkan, perlu kita persiapkan. Mereka tidak perlu membeli dari luar, karena bisa menyiapkan bahan pangan sendiri.
Desa Boti ini barangkali salah satu desa terakhir yang masih melakukan pengelolaan lahan secara berkelanjutan. Nilai hidup utama mereka adalah bekerja keras. Mereka menolak bantuan (misalnya bantuan sosial dari pemerintah atau lainnya) karena dengan menerima bantuan tersebut, mereka seperti setuju bahwa mereka miskin. Padahal mereka merasa memiliki berbagai macam kekayaan alam yang mereka butuhkan.
Raja Boti yang saat itu ikut mendampingi kami, tidak hanya tinggal diam. Sebagai raja, pemimpin desa, sang raja pun ikut terjun langsung menggali singkong dan ubi-ubian. Setelah beberapa saat, singkong yang sangat besar pun mulai terlihat. Aku terkesima dan ikut mencoba mengangkat singkong itu.
Dengan pengelolaan lahan yang lestari, Desa Boti mampu mengelola sumber air yang meskipun tetesannya sangat kecil tetapi selalu mengalir. Air yang memberikan penghidupan bagi desa ini. Di luar sana, banyak desa-desa di provinsi Nusa Tenggara Timur yang kekurangan air, tetapi di sini, mereka mampu mengelola air untuk kebutuhan bersama.
Pengelolaan lahan ini juga membuat anak-anak di Desa Boti terpenuhi kebutuhan pangannya. Di dalam komunitas boti, tidak ada anak-anak yang terkena gizi buruk atau stunting. Padahal di desa luar, Desa Boti, termasuk salah satu kawasan yang memiliki jumlah anak bergizi buruk dan stunting tertinggi di Indonesia.
Buat ku, perjalanan kali ini mengingatkan beberapa hal penting dalam kehidupan.
Pertama, kita memang harus bersiap dengan segala kebutuhan yang ada. Bersiap dari jauh-jauh hari, sehingga ketika sesuatu kita butuhkan, kita sudah siap dengan sumber daya yang ada. Di Boti, semua pohon yang ditebang harus memiliki pohon pengganti. Tidak ada pohon yang ditebang tanpa pohon pengganti.
Kedua, makan yang ditanam, tanam yang dimakan. Buat ku ini artinya kita perlu sadar dengan apa yang bisa kita usahakan. Menjaga keinginan diri hanya sampai sumber daya yang bisa kita siapkan. Tidak berlebih-lebihan.
Ketiga, bekerja keras. Di Boti, seluruh warga memegang nilai utama kerja keras. Kerja keras untuk tidur yang nikmat, makan enak, dan pakaian yang bagus. Kerja keras untuk semua keinginan. Kerja keras hingga kita tidak perlu menanti bantuan. Kalau bisa, kita yang membantu orang lain.
Aku sendiri masih jauh dari bisa mengimplementasikan ini di kehidupan ku sehari-hari. Sebagai perempuan yang besar di kota, aku terbiasa punya beragam mimpi dan keinginan. Aku berupaya ini dan itu untuk mewujudkan segala keinginanku. Kerja keras ini dan itu memang diperlukan, supaya kita bisa tidur nyenyak, makan enak, dan punya pakaian yang nyaman.
Selain itu, di sini juga pertama kalinya aku makan beberapa makanan lokal. Aku pertama kali makan pisang yang bisa dimakan pakai sambal. Pisang ini digoreng dengan minyak kelapa, sehingga rasa pisangnya seperti pisang butter. Pisang goreng yang gurih dan tidak keras.
Aku juga pertama kali makan jagung bose, sebagai pengganti nasi. Aku makan sambal khas dari Boti yang terdiri dari cabai, bawang, serta beberapa daun yang mereka tanam sendiri.
Aku tidak punya banyak pengalaman belajar langsung dari warga desa, sehingga pengalaman ini benar-benar menjadi pengalaman yang berharga buat ku.
Pembelajaran dari Desa Boti, kami bagikan untuk teman-teman di BEKAL Pemimpin 3.0 saat acara penutupan kegiatan berlangsung di Jakarta. Aku dan teman-teman FINBARGO mempersiapkan foto-foto dan cerita untuk teman-teman lainnya. Pembelajaran ini juga rencananya akan kami bagikan ke teman-teman lainnya di berbagai daerah.
Kami berharap, pengelolaan pangan lestari bukan hanya bisa diterapkan di Desa Boti, tapi juga diberbagai tempat lainnya. Aku pun mulai belajar makan makanan non-beras.
Lama ngga cerita-cerita di sini nih. Apa kabar?
Aku kali ini mau cerita tentang aktivitias ku bersama teman-teman FINBARGO, anggota dari BEKAL Pemimpin 3.0. Jadi gini ceritanya, aku tahun lalu daftar pelatihan kepemimpinan yang namanya BEKAL Pemimpin. Aku terpilih sebagai salah satu dari 60 orang peserta dari sekitar 600 pendaftar. Pelatihan kepemimpinan ini sebenarnya lebih fokus pada pengenalan diri sendiri sebagai pemimpin yang berkesadaran.
Pelatihan dari BEKAL Pemimpin cukup panjang, sekitar 6 bulan. Sewaktu pelatihan di Bali, kami diajak untuk membentuk kelompok untuk mengimplementasikan pelajaran-pelajaran dari BEKAL. Di sini lah, aku memilih masuk ke dalam kelompok yang membahas tentang pangan lokal. Aku pilih ini karena ingin belajar selain yang aku pelajari di kantor, ingin sesuatu hal yang baru.
Nah, kelompok prototype aku fokus pada kegiatan tentang pangan lokal. Nama kelompoknya adalah FINBARGO yang merupakan singkatan nama-nama para anggota kelompok. Bersama FINBARGO, aku dan teman-teman mulai banyak belajar tentang pangan lokal. BEKAL juga kasih kami kesempatan untuk bisa belajar langsung dari lapangan. Kami mulai dari belajar pengelolaan pangan di Desa Boti, Nusa Tenggara Timur, hingga implementasi kegiatan uji coba bahan ajar tentang pangan yang kami laksanakan di Larantuka, Nusa Tenggara Timur.
FINBARGO tapi kurang 1 anggota yang lagi ngga bisa ikutan. |
Perjalanan pertama kali sebagai kelompok FINBARGO adalah ke Desa Boti, Nusa Tenggara Timur. Dalam perjalanan ini, kami mempelajari tentang komunitas Desa Boti yang telah berhasil mengelola lahan untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka memiliki konsep, makan yang ditanam, tanam yang dimakan. Artinya, segala apapun yang kita butuhkan, perlu kita persiapkan. Mereka tidak perlu membeli dari luar, karena bisa menyiapkan bahan pangan sendiri.
Desa Boti ini barangkali salah satu desa terakhir yang masih melakukan pengelolaan lahan secara berkelanjutan. Nilai hidup utama mereka adalah bekerja keras. Mereka menolak bantuan (misalnya bantuan sosial dari pemerintah atau lainnya) karena dengan menerima bantuan tersebut, mereka seperti setuju bahwa mereka miskin. Padahal mereka merasa memiliki berbagai macam kekayaan alam yang mereka butuhkan.
Komunitas Boti memiliki kebun wanalestari yang berisi berbagai jenis tumbuhan sumber pangan. Sang raja mengajak kami, FINBARGO, berkunjung ke kebun wanalestari yang mereka miliki. Kebun wanalestari adalah jenis kebun atau hutan khas Indonesia yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan dari beragam lapisan hutan. Dalam kebun ini, aku melihat tumbuhan pangan seperti singkong, ubi, beras hutan, kemiri, pisang, ketela, kacang, dan lain sebagainya.
Sumber air. |
Raja Boti yang saat itu ikut mendampingi kami, tidak hanya tinggal diam. Sebagai raja, pemimpin desa, sang raja pun ikut terjun langsung menggali singkong dan ubi-ubian. Setelah beberapa saat, singkong yang sangat besar pun mulai terlihat. Aku terkesima dan ikut mencoba mengangkat singkong itu.
Dengan pengelolaan lahan yang lestari, Desa Boti mampu mengelola sumber air yang meskipun tetesannya sangat kecil tetapi selalu mengalir. Air yang memberikan penghidupan bagi desa ini. Di luar sana, banyak desa-desa di provinsi Nusa Tenggara Timur yang kekurangan air, tetapi di sini, mereka mampu mengelola air untuk kebutuhan bersama.
Pengelolaan lahan ini juga membuat anak-anak di Desa Boti terpenuhi kebutuhan pangannya. Di dalam komunitas boti, tidak ada anak-anak yang terkena gizi buruk atau stunting. Padahal di desa luar, Desa Boti, termasuk salah satu kawasan yang memiliki jumlah anak bergizi buruk dan stunting tertinggi di Indonesia.
Buat ku, perjalanan kali ini mengingatkan beberapa hal penting dalam kehidupan.
Pertama, kita memang harus bersiap dengan segala kebutuhan yang ada. Bersiap dari jauh-jauh hari, sehingga ketika sesuatu kita butuhkan, kita sudah siap dengan sumber daya yang ada. Di Boti, semua pohon yang ditebang harus memiliki pohon pengganti. Tidak ada pohon yang ditebang tanpa pohon pengganti.
Kedua, makan yang ditanam, tanam yang dimakan. Buat ku ini artinya kita perlu sadar dengan apa yang bisa kita usahakan. Menjaga keinginan diri hanya sampai sumber daya yang bisa kita siapkan. Tidak berlebih-lebihan.
Ketiga, bekerja keras. Di Boti, seluruh warga memegang nilai utama kerja keras. Kerja keras untuk tidur yang nikmat, makan enak, dan pakaian yang bagus. Kerja keras untuk semua keinginan. Kerja keras hingga kita tidak perlu menanti bantuan. Kalau bisa, kita yang membantu orang lain.
Desa Boti yang rindang. |
Aku sendiri masih jauh dari bisa mengimplementasikan ini di kehidupan ku sehari-hari. Sebagai perempuan yang besar di kota, aku terbiasa punya beragam mimpi dan keinginan. Aku berupaya ini dan itu untuk mewujudkan segala keinginanku. Kerja keras ini dan itu memang diperlukan, supaya kita bisa tidur nyenyak, makan enak, dan punya pakaian yang nyaman.
Selain itu, di sini juga pertama kalinya aku makan beberapa makanan lokal. Aku pertama kali makan pisang yang bisa dimakan pakai sambal. Pisang ini digoreng dengan minyak kelapa, sehingga rasa pisangnya seperti pisang butter. Pisang goreng yang gurih dan tidak keras.
Pisang goreng gurih terenak se Indonesia Raya. |
Aku juga pertama kali makan jagung bose, sebagai pengganti nasi. Aku makan sambal khas dari Boti yang terdiri dari cabai, bawang, serta beberapa daun yang mereka tanam sendiri.
Makan pangan lokal. |
Aku tidak punya banyak pengalaman belajar langsung dari warga desa, sehingga pengalaman ini benar-benar menjadi pengalaman yang berharga buat ku.
Pembelajaran dari Desa Boti, kami bagikan untuk teman-teman di BEKAL Pemimpin 3.0 saat acara penutupan kegiatan berlangsung di Jakarta. Aku dan teman-teman FINBARGO mempersiapkan foto-foto dan cerita untuk teman-teman lainnya. Pembelajaran ini juga rencananya akan kami bagikan ke teman-teman lainnya di berbagai daerah.
Kami berharap, pengelolaan pangan lestari bukan hanya bisa diterapkan di Desa Boti, tapi juga diberbagai tempat lainnya. Aku pun mulai belajar makan makanan non-beras.
Tidak ada komentar
Posting Komentar