Proses Menjadi Orang Dewasa

Kamis, 18 Januari 2024

Haloo, gimana kabar hari mu? Semoga hari mu menyenangkan..

Aku tadi habis konsultasi ke psikiater ku. Terus habis sesi, aku merasa legaaaa..

Aku pertama kali ketemu dokterku ini hampir 5 tahun lalu. Sewaktu merasa butuh bantuan untuk kesehatan mental, aku lekas buat beberapa janji dengan psikiater dan psikolog. Waktu itu, aku baru tau kalau ternyata dapat jadwal sesi dari psikolog/psikiater tuh lumayan ngantri panjang. Setidaknya 2 minggu, tapi banyak juga yang 1 bulan atau bahkan ngga menerima pasien baru (saking penuhnya). 

Awalnya, aku coba ke psikolog, tetapi aku merasa kurang cocok sama psikolognya. Memang psikolog/psikiater itu perlu cocok-cocokan sama kitanya. Nah, psikolog pertama ku usianya jauh lebih tua. Aku sulit merasa nyaman dengan beliau. Akhirnya aku coba ke psikiater dan alhamdulillah cocok. 

Saat aku cocok sama psikiater ku ini, aku lumayan senang cocoknya sama psikiater, dengan harapan siapa tau aku bakal dikasih obat hehehehhehe. Ya gimana ya, aku dulu merasa hidupku pelik sekali. Ku pikir, kalau ada bantuan obat, mungkin aku jalaninnya dengan jauh lebih mudah. Ngga taunya kata dokter, aku belum perlu bantuan obat. Aku juga sempat kira aku tuh pasti banget depresi, ternyata kata dokternya aku ngga tergolong depresi. Ini yang bikin aku jadi yakin, kita memang ngga bisa diagnosa sendiri. Semacam sakit fisik aja, kita perlu bantuan dokter untuk kasih tau perkiraan diagnosisnya.

Pada masa-masa awal terapi, dokterku bilang, aku kesulitan mengelola kedukaan. Kemudian, dokter membantuku mengenali dan memproses perasaan-perasaan yang aku rasakan. Rasanya prosesnya lambat sekali. Aku juga kesulitan merasa sedih (???). Oleh karena itu, di awal, fokusku adalah belajar membiarkan diriku merasa sedih. Baru pelan-pelan belajar mengenali bentuk perasaan lainnya.

Aku pernah beberapa kali sharing tentang apa saja yang ku pelajari dari sesi-sesi bersama dokterku. Kalau mau baca, bisa klik label journal di blog ku ini. 

Dulu, kayaknya aku jarang banget bisa nangis di depan keluarga atau di depan teman. Ya kalau curhat palingan sambil senyam senyum aja. Nah, ruang aman ku ya sama dokterku ini. Meski hidup seperti baik-baik aja, begitu duduk di ruang dokter, kok ya bisa mata langsung berkaca-kaca. Heran banget heran. Sampai sekarang, sesi ku bersama dokter juga tetap menjadi ruang aman untuk menjadi diriku sendiri dengan pikiranku sendiri.

Frekuensi pertemuan ku dengan dokter mulai berubah. Dulu aku rutin sebulan sekali ketemu dokter. Dokterku ngga nyuruh dateng lagi sih. Dia cuma bilang, aku bisa dateng kapan pun aku merasa butuh. Sehubungan dengan bayar dokter lumayan mahal yahhhhh, aku sanggupnya cuma sebulan sekali. hehehe

Ketika aku sudah bisa menggunakan metode-metode yang membantuku mengelola perasaan dan pikiranku, aku mulai mengurangi frekuensi ketemu dokter. Jadi tiga bulan sekali, enam bulan sekali, lalu 2 tahun lalu mulai setahun sekali aja untuk 'check up'.

Namuuunnnn.. Sungguh ku tak sangka-sangka, pertengahan tahun lalu aku terpicu oleh suatu kondisi baru. Ku ngga sangka, ternyata aku cukup terdampak oleh kejadian itu. Langsunglah aku konsultasi dengan dokterku. Dan, selesai konsultasi, dokter minta aku datang 3 bulan lagi hehehhehehe. Inilah pertama kali dokterku nyuruh aku datang dengan spesifik kasih jeda waktu, 3 bulan.

Akhirnya hari itu tiba. Aku ketemu dokter lagi, setelah hampir 5 bulan dari pertemuan terakhir. Sempat aku tunda, karena saat 3 bulan jadwal ketemu dokter, aku masih belum selesai berpikir dan menentukan pilihan.

Hari ini aku ketemu dokterku dan aku lega sekali sehabis sesi hari ini selesai. Aku bisa melihat diriku mengalami kemajuan signifikan dibandingkan dengan kondisiku beberapa tahun lalu. Aku sekarang cenderung lebih tenang menghadapi fenomena-fenomena kehidupan. Aku sudah membangun sistem pendukung dari beberapa lini. Juga aku lebih mudah meminta dan menerima pertolongan dari teman-teman atau keluarga.

Permasalahanku sekarang adalah.. aku sering kali ngga percaya dengan pendapatku sendiri. Aku sering merasa perlu kata-kata validasi dari orang. Ya, validasi itu kadang diperlukan, tapi aku sudah bisa berpikir mandiri. 

Sungguh, terngiang di kepala ku kata-kata dari dokter:

"emang ngga cukup kalau itu datangnya dari dirimu sendiri, bukan dari orang lain?"

"emang siapa yang menentukan benar atau salah? orang lain?"

duaar!

Ya masih PR, ngga papa. Pelan-pelan aku belajar.

Aku hari ini juga belajar, kadang kondisi gundah gulana itu memang diperlukan. Itu respon tubuh yang memberikan kita waktu untuk mempertanyakan apa yang benar-benar kita inginkan.

Jadi, tenang Din, merasa gundah itu bukan berarti aku ngulang dari 0 jaman dahulu kala lagi kok. Itu respon tubuh yang wajar. Kita bisa melihat sesuatu dengan perspektif berbeda yang lebih luas dan komprehensif. Kita juga bisa tetap baik kepada diri sendiri, ngga dikit-dikit mengadili diri sendiri. 

Aku ingin mengatakan kepada diriku sendiri.. Selamat menjadi orang dewasa. Sebagai orang dewasa, kita tau ngga semua yang kita inginkan akan menjadi realita dan itu ngga papa banget. Tuhan lebih tau apa yang terbaik untuk diri kita.

Selamat mengelola diri dengan lebih bijak. Selamat memberikan pertolongan yang kita butuhkan. Semoga masa kini dan masa depan, Tuhan memberikan aku dan kamu ketenangan serta kebijakan dalam menghadapi dunia yang fana ini.


Peluk erat,

Diny

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *