Menyambung cerita sebelumnya tentang perjalanan kesehatan kejiwaan yang saya lalui, kali ini saya akan berbagi tentang beberapa alat atau cara yang cukup berguna buat saya.
Saya pernah berbagi soal ini, misalnya di post yang berjudul Things that Keeps Me Sane. Kalau dilihat-lihat dengan kacamata sekarang, beberapa hal dalam daftar tersebut cenderung saya gunakan untuk melarikan diri dari kenyataan. Waktu itu saya membuat daftarnya sendiri, tanpa bimbingan dokter jadi yaa.. gitu deh.
Saya ngga tau apakah cara-cara ini bisa berguna atau ngga buat orang lain. Saya diajarkan teknik ini oleh dokter secara bertahap dan sesuai dengan kemajuan saya pada saat sesi terapi. Saya juga bukan dokter, konsuler, atau terapis. Cara yang saya tuliskan di bawah ini adalah cara-cara yang berguna buat saya, berdasarkan intepretasi saya dari sesi terapi dan dari berbagai sumber lainnya seperti buku, podcast, diskusi, dan lain-lain. Bisa saja saya salah mengintrepretasikan cara ini, jadi keep in mind that it may not scientifically proven.
Saya yakin sekali kalau yang kayak gini-gini itu memang ngga bisa belajar dalam waktu singkat. Harus terus-menerus dilatih. Mungkin ngga akan pernah masuk ke kata 'jago'. Penting untuk menjadi proses belajar seumur hidup. Apapun masalahnya, kita bisa menggunakan cara ini sebagai tools untuk menghadapinya, or maybe not but we can at least give it a try.
Cara-cara ini juga sudah saya gunakan setahun terakhir. Namun, baru di bulan November, sesi terakhir dengan dokter, akhirnya saya mengerti apa maksud dokternya. Sesi itu bisa jadi adalah "aha! moment" saya. Yaitu saat dimana semua yang selama ini dipelajari di sesi terapi bersatu dan terkoneksi menjadi pengetahuan komprehensif. Entah kenapa saya jadi langsung merasa berdaya, kayak "OH MAKSUDNYA GINI TOH" (mesti di capslock).
|
Me trying to figure out adult life. |
Poin-poin ini dibuat bukan berdasarkan urutan tertentu. Semua bisa dilakukan perlahan-lahan atau berbarengan.
1. Menulis sebagai alat meditasi
Saya sudah menggunakan cara menulis untuk menceritakan apa yang terjadi dalam kehidupan saya, barang kali sejak SMP. Biasanya saya menggunakan teknik menulis sebagai tempat sampah. Dulu, saya terbiasa menulis apa yang terjadi dalam kehidupan A-Z dan penilaian saya terhadap situasi tersebut. Menulis bisa membantu saya memindahkan apa yang ada di pikiran, sehingga kepala saya terasa lebih ringan.
Namun, kalau mau naik tingkat, kalau mau mendaur ulang 'sampah-sampah' itu menjadi sesuatu yang bermakna, menulis bisa dijadikan terapi. Caranya adalah dengan melakukan assessment terhadap emosi yang saya punya. Misalnya dengan memakai kata 'saya merasa..', 'saya percaya..', 'saya yakin..' dan lainnya yang berawal dengan kata 'saya'. How do I feel about things that happened in my life?
Teknik ini bisa melatih diri kita untuk fokus sama diri sendiri sehingga tidak menyalahkan, tidak memberi penilaian buruk/baik, dan tidak fokus pada hal-hal yang di luar kontrol, seperti orang lain atau keadaan. Teknik ini juga dipelajari di buku Nonviolent Communication yang jadi panduan saya untuk belajar teknik-teknik tersebut. Dengan metode ini, kita bisa belajar menjadi subjek dalam kehidupan yang kita jalani. Bukan hanya sebagai penonton atau korban.
|
Menulis adalah salah satu cara saya mengenal diri sendiri. |
2. Mengubah familiarity/kebiasaan
Pengalaman yang kita miliki telah mengajarkan kita berulang kali dan terus-menerus. Dampaknya adalah kita sudah membangun refleks tertentu ketika menghadapi pengalaman tertentu. Something that is familiar to us. Sayangnya, dalam perjalanan kehidupan, berbagai hal bisa berubah. Respon yang kita miliki terhadap situasi yang sama, juga mesti ikut berubah. Atau bisa jadi, respon yang kita miliki selama ini bukan respon yang relatif sehat dan kita mau mengubahnya.
Gimana caranya supaya bisa membiasakan diri dengan kebiasaan yang baru?
- Sadar. Sadar dengan apa yang terjadi.
- Komitmen. Apakah kita rela dengan perubahan yang mau dibuat? Kalau belum rela, ya sudah ngga papa, nanti lanjut ke tahap berikutnya kalau sudah siap. Kalau sudah rela..
- Kenali. Kenali situasi, perasaan, kenyataan, dan pilihan-pilihan yang muncul.
- Buat keputusan. Dari berbagai opsi respon yang bisa kita ambil, pilih salah satu.
- Memposisikan diri. Lihat apakah kita bisa memposisikan diri menuju versi baru sebagai respon dari suatu kondisi yang familiar.
Teman saya bilang, ini mirip dengan Practice the Pause. Kalau menurut saya, kita bisa melakukan ini kalau sudah terbiasa dengan belajar self-awareness. Pause tanpa self awareness juga ngga akan jadi apa-apa.
3. Latihan
Latihan, latihan, latihan. Karena ini adalah sesuatu yang ngga familiar. Kita ngga terbiasa dengan kondisi tersebut. Kita mungkin belum tau reaksi seperti apa yang pas dan relatif sehat. Oleh karena itu, penting untuk bisa sadar dengan apa yang kita rasakan, pikirkan, dan pilihan yang akan kita ambil. Penting untuk bisa sadar dan hadir untuk diri kita sendiri.
4. Menggunakan realisasi
Sering kali saya punya pertanyaan-pertanyaan yang saya ngga tau jawabannya apa. Misalnya, kok A melakukan B ya?. Dalam mengatasi hal tersebut, biasanya, saya sering mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sendiri. Mencoba membuat semuanya menjadi rasional. Oh, mungkin si A melakukan B karena dia merasa C. Inilah yang namanya realisasi.
Realisasi berarti berusaha membuat semuanya rasional, riil, dan punya jawaban. Realisasi ini bisa kelihatan seperti bentuk mengatasi masalah yang sehat, padahal belum tentu. Memang realisasi ini sudah naik tingkat dari level menyalahkan/blaming. Tapi, kalau mau naik tingkat lagi.. We can take a look at this in more detail.
Kita belum tentu akan punya jawaban yang benar. Belum tentu kita akan mendapatkan closure yang kita harapkan. Kalaupun kita tanyakan ke orang yang bersangkutan (kasus si A), belum tentu A juga tau alasannya, atau kalaupun dia tau, belum tentu dia mau menjelaskan ke kita. Kalau pun A mau menjelaskan ke kita, belum tentu kita mengerti. Semuanya serba tidak pasti. Bagi orang yang suka mempertanyakan sesuatu dan suka mencari jawaban, seperti saya, ini hal yang berat. I tend to want to know the answer.
Ketika terjebak dalam realisasi, kita sebagai manusia sering juga terjebak dalam confirmation bias. Confirmation bias artinya mengintrepretasikan sesuatu berdasarkan hal yang kita yakini, yang tentu saja belum tentu benar. Sering kali kita memilih salah satu jawaban yang kita yakini kebenarannya walau dengan informasi yang tidak penuh. Padahal jawaban tersebut hanya mentok di kata 'mungkin', hanyalah sebuah kemungkinan. Bisa benar bisa juga tidak. Makanya kita mesti lebih hati-hati dalam hal ini.
Untungnya, kita bisa menggunakan realisasi ke tingkat yang lebih sehat. Kita bisa menggunakan realisasi untuk membuat berbagai opsi jawaban. Contohnya, bisa saja A melakukan B karena C, D, E, atau F. Lalu, kita bisa membiarkannya begitu saja. Kita tidak perlu memilih apakah yang benar adalah C, D, E, atau F. Kita bisa meyakini bahwa ada berbagai opsi jawaban dan it is okay to not have an answer.
Ingat, ngga ada orang yang bisa kita kontrol selain diri kita sendiri.
|
Life is a series of open ended questions. |
5. Mengobservasi tanpa memberikan penilaian
Mengobservasi yang bebas interpretasi, tanpa nilai, tanpa kata "seharusnya". Jujur, ini saya masih ngga terlalu mengerti gimana caranya. Walau pembahasan ini ada juga di buku Nonviolent Communication, tapi saya masih belum paham benar gimana cara praktikal di kehidupan nyata.
Intinya sih kita bisa melatih diri kita untuk melihat sesuatu tanpa interprestasi menggunakan nilai yang kita miliki. Kita punya latar belakang yang berbeda, luka masa lalu yang berbeda, mungkin budaya, agama, atau apapun yang buat kita penting, belum tentu itu penting buat orang lain. We don’t have to judge them for being different than us. Easier said than done. Yup!
Melihat perbedaan nilai ini kayaknya mesti dibarengi dengan (balik lagi) self awareness dan mungkin juga boundaries. Yang orang lain lakukan, tidak berarti akan mendefinisikan diri kita. Saya dan orang lain adalah dua individu yang berbeda. It is okay to agree to disagree. Apalagi kalau terkait nilai penting yang kita anut ya.
Tapi ini susah banget dilakukan ke orang-orang terdekat kita. Barangkali kita secara tidak sadar sudah menanamkan harapan atau asumsi tertentu ke orang terdekat, sehingga ketika mereka ternyata memiliki nilai dasar yang berbeda dengan kita atau memberi respon yang tidak diharapkan, tentunya kita bisa merasa kecewa. Ketika kekecewaan ini tidak diolah lebih lanjut dan ditambah dengan penilaian-penilaian yang kita berikan ke orang tersebut maka kekecewaan ini bisa berubah menjadi sakit hati atau resentment.
6. Mengelola preoccupied mind
Preoccupied mind mungkin bisa dijelaskan sebagai pikiran yang terisi dengan suatu hal atau seseorang yang dianggap penting. Preoccupied mind saya selalu tentang sesuatu yang saya anggap sebagai segalanya. Ketika saya kehilangan hal yang saya anggap sebagai 'segalanya', lalu siapakah saya di luar dari itu semua?
Oleh karena preoccupied mind ini, saya jadi semacam terobsesi, barangkali. Terobsesi dengan pikiran-pikiran ini. Pikiran tentang masa lalu. Padahal, pikiran ini mungkin tidak memberikan dampak besar lagi terhadap kehidupan yang saya punya sekarang.
Untuk keluar dari preoccupied mind, kita bisa menghitung berapa persen hal yang kita pikirkan akan berdampak pada kehidupan masa kini. Lagi-lagi harus balik ke self-awareness. Kadang kita perlu lihat bagaimana cara kita menghabiskan energi yang kita miliki? Apakah energi tersebut kita habiskan untuk sesuatu yang punya dampak terhadap kehidupan saat ini dan masa depan?
Nah, setelah evaluasi hal tersebut, kita bisa memindahkan penggunaan energi, untuk hal-hal yang masih relevan dengan kehidupan kita sekarang.
Saya rasa, meditasi juga akan membantu untuk keluar dari preoccupied mind. Meditasi bisa melatih diri kita untuk hadir dalam situasi saat ini. Untungnya sekarang sudah banyak ya latihan meditasi secara online, jadi bisa latihan di rumah saja.
__
Saya rasa 6 poin itu adalah poin-poin besar yang bisa saya rangkum dari sesi terakhir terapi yang saya jalani. Ada satu poin lain yang akan saya ceritakan dalam cerita berikutnya. Juga ada beberapa poin yang terlalu personal untuk dibagikan. Kelihatannya seperti banyak teori ya. Banyak istilah. Entah kenapa, ketika sesuatu itu punya nama, rasanya saya jadi punya kuasa akan hal tersebut.
Misalnya setelah saya tau tentang realisasi dan sadar bahwa saya sering menggunakannya, saya jadi semacam punya kendali atas diri. Seperti bisa bicara dengan diri sendiri, "Hey, kamu lagi realisasi nih. Ayo coba bikin realisasi ini keluar sebagai bentuk yang lebih sehat".
Melalui terapi, saya juga jadi lebih sadar tentang kejadian di masa lalu yang memengaruhi cara saya bereaksi atas suatu hal atau cara saya mengambil keputusan. Saya ingin sekali bisa menjadi orang yang bereaksi terhadap suatu hal atas dasar cinta, bukan atas dasar luka.
Ini meskipun sudah tau sedikit tentang ini semua dan sudah menjalani terapi, saya yakin masih banyak yang saya belum paham. Poin-poin di atas aja saya belum handal menggunakannya. Bahkan bisa dibilang proses ini baru saja dimulai.
Kalau ada kesempatan seperti punya waktu, uang, dan energi untuk bisa terapi, saya sangat merekomendasikan terapi sebagai salah satu investasi yang bisa kita berikan ke diri sendiri dan juga ke orang-orang terdekat kita. Kalau kesempatan itu belum ada, ngga papa, kita ngga pernah sendirian kok. Pasti ada jalan untuk belajar ini dan pasti ada orang yang sungguh peduli dengan diri kita. We have to find them and be that person for people we love.
Lagi-lagi, mohon maaf tulisannya campur Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Pikiran saya masih belum bisa full Bahasa Indonesia atau full Bahasa Inggris. Hehe. Semoga bermanfaat.
Salam sayang,
Diny