Suryakencana, September 2019. Sebuah perjalanan yang penuh dengan refleksi diri. |
Hari itu hari minggu, ketika saya mulai menulis cerita ini. Selepas bangun tidur, saya langsung membuka jendela dan membereskan tempat tidur, selimut, bantal, guling, dan sebuah boneka panda kecil yang selalu menemani saya tidur beberapa bulan terakhir. Keluar kamar, saya menuju ruang kerja di sebelah kamar, kemudian saya mengganti pakaian tidur dengan pakaian santai. Lalu saya ke pasar, membeli bahan makanan dan sayuran. Masak untuk seminggu ke depan. Menyapu dan mengepel lantai, mencuci, menjemur, dan menggosok pakaian. Semua hal yang tidak saya lakukan dengan suka cita tiga tahun lalu.
Kadang-kadang saya berpikir, apakah semua perubahan relatif positif yang telah terjadi, hanyalah bentuk pembuktian diri yang entah untuk apa atau untuk siapa? Tapi saya ngga mau lagi mendelegitimasi diri sendiri dengan cara tidak menghargai kemajuan diri atau tidak memberikan kredit yang sewajarnya kepada diri sendiri.
Tentu saja, banyak hal yang berubah. Segala perubahan yang terjadi barang kali bentuk saya merespon hal-hal yang terjadi dalam kehidupan. Meskipun perubahan itu kadang terasa menyeramkan, I know will always have my self. I will be the best version of me for myself so I can serve others for greater goods, because there's no other way to survive or live this world (I guessed?).
Selama setahun terakhir, saya banyak belajar soal diri sendiri, hubungan dengan orang lain, maupun bagaimana menjalani kehidupan. Ada beberapa hal utama yang paling menarik buat saya. Mungkin pembelajaran yang saya ambil bisa juga bermanfaat untuk kamu.
***
Love languages.
Menurut Gary Chapman, ada lima cara komunikasi (bahasa) yang biasa kita gunakan untuk mengekspresikan rasa sayang. Lima bentuk bahasa itu adalah act of service, words of affection, receiving gift, quality of time, dan physical touch. Kita bisa saja menggunakan beberapa bahasa, namun biasanya ada bahasa yang paling dominan. Kamu bisa baca lebih detail di website ini.Buat saya, bagian penting dari mengenali bahasa cinta adalah untuk memahami apa yang saya butuhkan dan mengkomunikasikannya dengan pasangan. Lalu, berusaha memahami apa bahasa cinta pasangan saya untuk menyesuaikan perilaku saya dan memenuhi kebutuhan dia. Remember, the only thing we can control is ourselves. We can't expect our partner to read our minds or know our needs without us telling them those things. It is all about communication.
Apakah pasangan yang memiliki bahasa cinta yang sama atau pasangan yang saling mengerti bahasa cinta, akan memiliki hubungan yang lebih bahagia? Ternyata tidak. Kebahagiaan suatu hubungan tidak tergantung dari kesamaan bahasa. You can have the same language but still unhappy with your relationship or the other way around.
Namun, memahami adanya perbedaan bahasa membuat kita bisa melihat perbedaan secara lebih utuh dan belajar merespon perbedaan hal itu. Perbedaan adalah hal yang sangat normal. Malah kalau bahasanya berbeda, kita bisa merayakan perbedaan itu yang justru bisa membuat hubungan lebih menarik.
Non-violent communication.
Sering kali, ketika saya sedang marah, ingin rasanya menumpahkan semua kemarahan tersebut. Hingga saya tidak sadar kalau kata-kata yang saya sampaikan bisa melukai hati orang lain. Pada buku non-violent communication, saya belajar bahwa kita bisa menyampaikan apa yang kita rasakan atau pikirkan tanpa menyakiti hati orang lain. Non-violent communication is a language of compassion.Ada empat komponen utama dalam non-violent communication: observations, feelings, needs, dan request. Intinya, berusaha melihat suatu hal tanpa menganalisis atau menghakimi, mengidentifikasi apa yang kita rasakan dan inginkan, lalu mengkomunikasikan hal-hal tersebut. Balik lagi, we can only control ourselves and the most important thing is communication. Misalnya, daripada bilang, "kamu ngga sopan deh", kita bisa mengatakan hal yang lebih spesifik dan fokus ke yang kita rasakan misalnya, "waktu aku lihat kamu masuk, aku ngga dengar kamu bilang halo ke aku". Spesifik dan bisa diukur. Ini bisa membantu pasangan kita memahami apa yang kita rasakan tanpa merasa dituduh atau dihakimi.
Buat saya ini agak susah, apalagi kadang ego yang tinggi membuat saya merasa benar sendiri tanpa melihat semuanya dengan lebih utuh. Ada seorang teman saya yang sudah lumayan fasih menggunakan bahasa ini. Saya belajar banyak dari dia dan berusaha mengaplikasikannya ke dalam hubungan saya sehari-hari dengan orang-orang terdekat. Ternyata komunikasi dengan orang lain akan lebih mudah kalau saya mau belajar komunikasi tanpa mengedepankan ego dan tanpa kekerasan. Ternyata membicarakan hal-hal yang berat bisa dilakukan tanpa saling menyakiti satu sama lain. Sebuah pembelajaran yang sangat menarik selama setahun terakhir ini.
|
Tanggung jawab kebahagiaan.
Kebahagiaan itu tanggung jawab diri kita masing-masing. Hanya kitalah yang bisa membuat diri kita bahagia. Bertanggung jawab dengan kebahagiaan diri sendiri adalah dengan tidak menyalahkan orang lain atas ketidak bahagiaan yang kita miliki. We can't ask other people to make us happy. Other people can only add happiness that's already within us. So, it is not really fair to ask your partner to keep making you happy all the time, because eventually they will make mistakes and they won't be able to fulfil your needs.Ini jadi perjalanan menarik buat saya, karena saya sempat menjadikan pasangan saya sumber kebahagiaan yang paling utama. Artinya, tanpa saya sadari, I often 'asking' him to fulfils my happiness tank which was not fair for both of us. Saya rasa ini juga ada hubungannya dengan gaya keterikatan saya (attachment styles) dengan pasangan, yang saya bahas di bawah.
Dalam perjalanannya, saya sadar bahwa kebahagiaan itu adalah persoalan saat ini. Kalau saya masih berpikir, "saya akan bahagia kalau.." atau "saya akan bahagia ketika..", saya ngga akan pernah bahagia. Saat 'kalau' dan 'ketika'-nya sudah tercapai, akan ada lagi masalah baru dan begitu aja terus mutar-mutar tanpa pernah bahagia. Ternyata, kebahagiaan adalah persoalan bagaimana kita melihat suatu hal saat ini dan hanya bisa dicapai kalau kita memiliki hubungan yang baik dan sehat dengan diri sendiri.
Well, OK, to be fair, kebahagiaan tidak sepenuhnya berada dalam kendali kita. Ada faktor lain seperti kejadian yang terjadi pada kehidupan dan faktor genetik. Namun, dua faktor itu tidak bisa kita kontrol. Balik lagi, yang bisa kita kontrol hanyalah diri kita sendiri, apa yang kita pikirkan dan apa yang kita lakukan. Ini ada artikel menarik tentang kebahagiaan yang saya rasa cukup penting untuk dibaca.
Attachment styles.
Menurut teori, ada empat bentuk keterikatan kita dengan orang lain: secure, anxious, avoidance, dan anxious-avoidance. Bentuk keterikatan ini umumnya dipengaruhi dari bentuk hubungan kita di masa kecil dengan orang tua kita. Ini ada video yang sangat membantu saya mengerti teori ini, walaupun belum bisa menjelaskannya ulang dengan bahasa saya sendiri. Silakan saksikan videonya.Berdasarkan video itu dan beberapa artikel lain (ini dan ini contohnya) yang menjelaskan bentuk keterikatan, saya sedang bekerja untuk memperbaiki bentuk keterikatan yang saya punya. Tujuan saya adalah menjadi secure adults yang bisa memiliki hubungan yang lebih sehat dengan pasangan maupun dengan orang-orang di sekitar saya.
Memaafkan diri sendiri.
Apapun yang pernah terjadi dalam hidup, jangan pernah lupa kalau kita hanyalah manusia. Tempatnya berbuat kesalahan. Banyak hal yang saya harap tidak pernah saya lakukan. Apapun itu, what's been done cannot be undone. I can't change the past, no matter how much I want to. I am trying to believe that I did everything I could with all knowledges and skills I had those time. So, I can forgive myself for not knowing the better way, for feeling like a failure even tho I wasn't, and for feeling not enough because I was and am more than just enough.The journey of forgiving self was started when I acknowledged and owned my mistakes. Afterwards, I am able to gradually release what's hurts. Hopefully one day I will only keep things I've learned and let go everything else. Ini perjalanan panjang yang saya yakin akan bolak-balik lagi untuk dipelajari sepanjang hidup.
Willingness to make things work.
Hubungan jangka panjang adalah sebuah maraton. Semua yang saya sebutkan di atas, ngga akan ada gunanya kalau sudah tidak ada kemauan untuk memperbaiki keadaan. Sometimes, people changed and they want different things. That is alright. People choose things they wanna choose. Love is a choice we choose everyday. Will you choose to make things work or no? Atau bisa jadi, memang situasinya sudah terlalu kacau balau untuk bisa dirapikan? Hanya diri kita sendiri yang bisa menjawabnya. Tidak ada jawaban yang salah atau benar. Apapun jawabannya, pasti ada konsekuensinya.Buat saya, sekarang tinggal bagaimana saya menjalani konsekuensi dari pilihan yang saya ambil. I really really hope it all worth it. Or maybe I already feel like it all worth it? Who knows? I will give more time to answer the questions.
***
Adult life is challenging. Nobody has it all. Nobody knows for sure if things they chose is right or wrong. Nobody. But I know one thing: every body wants to be happy. I will try to forgive others, forgive the universe, and most importantly forgive myself. And keep learning and swimming and enjoying life while it last.
Kalau dipikir-pikir, ini semua tuh hal dasar banget deh. Saya baru belajar setahun terakhir ini. Untungnya tidak ada kata terlambat untuk belajar ya. Semoga ke depannya, saya, kamu, dan kita semua bisa jadi orang yang lebih baik lagi.
Panjang juga ini tulisannya. Mohon maaf bahasanya campur-campur dan terima kasih sudah membaca. Semoga harimu menyenangkan!
Salam hangat,
Diny
No comments
Post a Comment