Rusa timor (Cervus timorensis) merupakan satwa dilindungi di Indonesia dan tersebar mulai dari Jawa, Sulawesi, Maluku, hingga Kepulauan Nusa Tenggara Timur (Basunim ? : 12). Meskipun satwa dilindungi, rusa timor dapat ditangkarkan sebagai upaya pemanfaatan berkelanjutan (berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 dan PP No 8 tahun 1999). Upaya pemanfaatan tersebut pun dilakukan Universitas Indonesia (UI). Sejak tahun 2009, Kampus UI Depok memiliki penangkaran rusa timor.
Berdasarkan catatan Pengelola Lingkungan Kampus UI, pada saat awal rusa di penangkaran berjumlah 10 ekor, sedangkan kini rusa tersebut telah berkembang biak sebanyak 30. Ruang penangkaran seluas 10.000 m2 pun terlihat terlalu sepit bagi jumlah populasi rusa yang ada. Sehingga muncul kekhawatiran penangkaran rusa di Kampus UI Depok tidak lagi memiliki daya dukung lingkungan yang cukup untuk pertumbuhan rusa.
Daya dukung lingkungan adalah jumlah maksimum populasi yang dapat didukung oleh ekosistem dalam kondisi yang berkelanjutan. Faktor yang membatasi daya dukung lingkungan antara lain makanan, air, habitat, predator, dan lain-lain. Bila jumlah populasi dibawah jumlah daya dukung lingkungan, maka jumlah reproduktif populasi organisme tersebut akan meningkat (Wright & Nebel 2002: 293). Hal tersebut terjadi pada penangkaran rusa di Kampus UI Depok. Populasi rusa terus mengalami peningkatan. Namun, bila peningkatan populasi terus dibiarkan, maka setiap individu akan saling berkompetisi dan tidak lagi dapat diakomodasi oleh daya dukung lingkungan yang ada (Wright & Nebel 2002: 293).
Solusi untuk mengatasi kekhawatiran tersebut dapat diawali oleh penelitian awal. Penelitian tersebut dapat menghasilkan data kuantitatif mengenai seberapa banyak jumlah populasi rusa yang dapat ditampung kandang secara optimal. Beberapa komponen yang perlu diperhatikan antara lain komponen biotik dan abiotik. Komponen abiotik kawasan melingkupi kondisi iklim, curah hujan, suhu, kelembaban, topografi, sumber air, jenis tanah dan elevasi, sedangkan komponen biotik melingkupi vegetasi dan daya dukung lingkungan (Sumanto 2007: 2).
Jumlah populasi yang dapat ditampung menjadi sangat penting mengingat laju reproduksi rusa relatif cepat. Rusa timor mulai berbiak pada umur 15 -- 18 bulan. Lama umur kehamilan kurang lebih 9 bulan (Basunim ? : 12 -- 13), lama penyusuan selama 4 – 7 bulan, dan akan memasuki masa kelahiran berikutnya paling cepat 12 -- 15 bulan kemudian (Semiadi 1998: 24). Dengan kata lain, sejak umur 15 -- 18 bulan, rusa dapat berbiak selama satu hingga satu setengah tahun sekali menghasilkan 1 atau 2 ekor anak. Bila saat ini terdapat 10 pasang rusa produktif berumur 1,5 -- 2 tahun, maka pada tahun 2015 populasi rusa yang terdapat di penangkaran kampus UI mencapai ± 60 rusa (belum memertimbangkan laju kematian).
Cepatnya laju reproduksi rusa didukung dengan sistem farming (seluruh kebutuhan pakan dan air disediakan atau disuplai dari luar) (Sumanto 2007: 1) yang dilakukan di penangkaran rusa Kampus UI Depok. Sistem tersebut memungkinkan jumlah pakan dapat mencukupi atau melebihi kebutuhan pakan rusa. Pakan yang melimpah dan musim hujan akan meningkatkan kualitas dan kuantitas birahi pada betina (Samsudewa dkk 2006: 22) sehingga dapat meningkatkan laju reproduksi.
Oleh karena itu, setelah dilakukan penelitian awal, perlu dibentuk suatu tim khusus yang bertugas memonitor laju pertumbuhan rusa. Bila rusa yang berada di kandang sudah terlalu banyak dan tidak mampu lagi didukung oleh sumber daya yang ada, maka perlu dilakukan perampingan jumlah populasi. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk merampingkan populasi antara lain rusa dapat disumbangkan ke penangkaran lain atau dapat pula dibunuh untuk dimanfaatkan dalam berbagai kesempatan. Rusa yang dibunuh dapat dimanfaatkan daging, kulit, dan tanduknya (Widateti 2009: 7). Selain itu, dengan bobot badan berkisar 40 – 120 kg, daging rusa juga memiliki cita rasa dan kandungan gizi tinggi (Samsudewa dkk 2006: 19). Daging tersebut dapat digunakan sebagai santapan saat ada kunjungan tamu penting di UI atau pun disumbangkan ke karyawan UI dan warga sekitar. Namun, perampingan jumlah populasi dengan cara tersebut hanya dapat dilakukan bila jumlah populasi sudah terlalu banyak dan perlu dimonitor/dikontrol oleh tim khusus.
Beberapa taman nasional di negara-negara lain (misalnya argentina) bahkan melakukan pekan olahraga berburu rusa untuk mengendalikan populasi rusa (Veblen dkk. 1992: 74). Ledakan populasi rusa dapat menghambat regenerasi (laju pertumbuhan perkecambahan, tunas, dan anakan) tumbuhan hutan hujan (Veblen dkk. 1992: 82; Russel dkk. 2001: 18). Hal tersebut disebabkan preferensi pakan rusa, yang berupa pucuk-pucuk daun, kecambah, dan buah. Selain menghambat regenerasi tumbuhan, ledakan populasi rusa juga dapat menyebabkan efek negatif tidak langsung terhadap berkurangnya populasi burung hutan (Allombert dkk 2005: 11).
Ide mengenai pelepasan rusa yang terdapat kandang penangkaran ke hutan UI sebaiknya tidak dipilih. Bila rusa dilepaskan ke hutan UI dan dibiarkan tumbuh bebas, maka rusa tersebut akan menjadi hewan introduksi baru yang dapat hidup bebas tanpa predator. Tidak adanya predator akan membuat populasi rusa tidak terkontrol (Cote 2004: 116) sehingga dapat menjadi salah satu penyebab kepunahan spesies (dalam hal ini merupakan banyak spesies tumbuhan di Hutan UI) (Raven, 2002: 633). Efek tersebut bukan lah efek jangka pendek yang dapat langsung terasa, tapi jangka panjang (Cote 2004: 136).
Referensi:
Allombert, S., Gaston, A.J., Martin, J.L. 2005. A natural experiment on the impact of overabundant deer on songbird populations. Biological Conservation, 126: 1 -- 13.
Basunim, S. ?. Manajemen perkembangbiakan dalam usaha penangkaran rusa ditinjau dari aspek perilakunya. Media Konsevasi, 1(4): 11 -- 16.
Cote, S.D. dkk. 2004. Ecological impacts of deer overabundance. Annual Review of Ecology, Evolution, and Systematics, 35: 113 -- 147.
Raven & Johnson. 2002. Biology sixth edition. McGrawHill, New York: 1239 hlm.
Russell, F.L., Zippin, D.B., & Fowler, N.L. 2001. Effects of white-tailed deer (Odocoileus virginianus) on plants, plant populations and communities: a review. American Midland Naturalist, 146(1): 1 -- 26.
Samsudewa, D., & Susanti, S. 2006. Studi tingkah laku reproduksi rusa timor (Cervus timorensis) sebagai upaya penangkaran di Kepulauan Karimunjawa. Agromedia, 26(2): 19 -- 24.
Semiadi, G. 1998. Pola kelahiran Rusa timorensis di Nus'a Tenggara Timur. Hayati, 5(1): 22 -- 24.
Sumanto, Masyu’d, B., & Thohari, A.M. 2007. Disain penangkaran rusa timor (cervus timorensis de blainville berdasarkan sistem deer farming di kampus ipb darmaga bogor. 7 hlm.
Veblen, T.T., dkk. 1992. Ecological impacts of introduced animals in Nahuel Huapi National Park, Argentina. Conservation Biology 6(1): 71 -- 83.
Wirdateti, dkk. 2009. Karakteristik morfometrik rusa sambar (Rusa unicolor) sebagai dasar kriteria seleksi sifat pertumbuhan. Jurnal Veteriner, 10(1): 7 -- 11.
Wright, R.T. & Nebel, B. 2002. Environmental science: toward a sustainable future. Pearson Education, New Jersey: xxi + 681 hlm.
No comments
Post a Comment